Wednesday, May 5, 2010

Begini Rasanya Menangis Karena Hilang Kesabaran Menghadapi Anak

Semalam terjadi huru hara. Huru hara besar. Tengah malam Mas Damar minta mimik. Sebelumnya dalam tidurku aku merasa Mas Damar gelisah sekian lama. Akhirnya aku mau bangun dan menyusui Mas Damar. Seperti biasa, ketika menyusui malam-malam, aku meraba pantat Mas Damar. Ow, pantesan gelisah, basah begini. Ya sudah, aku lepas celananya. Giliran kaosnya mau dilepas, Mas Damar protes. Aku bujuk, "Mas, nanti masuk angin kalau kaosnya basah." Mas Damar ngeyel dan berujung ngamuk. Karena aku pengin pipis dan campur kesal, kutinggalkan Mas Damar begitu saja ke kamar mandi. Dan seperti biasa, dia mengikuti dan menggedor-gedor pintu kamar mandi sambil ngamuk. Minta ampun, malam-malam begini berteriak-teriak seperti itu.


Aku berusaha membujuk dengan suara pelan, Mas Damar tetap ngamuk. Lalu minta mimik tapi nggak mau mimik. Malah mengusir aku, "pergi!!!" Aku keluar kamar, Mas Damar tambah ngamuk, "ikut! ikut!" Begitu terus sampai kurang lebih dua puluh menit. Aku sampai hilang kesabaran, kubanting selimut dan bantal sambil bertanya, "Mas Damar maunya apa? Kenapa?" Mas Damar tambah keras nangisnya. Astaghfirullah, akhirnya aku diam. Setengah menyesal karena sempat lepas kontrol aku menangis. Melihatku menangis, Mas Damar yang sempat diam malah ikut-ikutan menangis, tapi menangisnya tak bersuara, dan kepalanya nyusruk ke dalam bantal. Lalu kutanya dia. "Mas Damar kenapa? Mas Damar kenapa jahat sama ibu? Ibu salah apa? Mas Damar kenapa nakal sama ibu? Salah ibu apa? Mas, ibu Mas Damar cuma satu. Kalau ibu nggak ada, Mas Damar sama siapa?" Terus... terus... kuulang-ulang saja pertanyaan itu. Mas Damar tak segera diam. Lalu aku berdoa. Mas Damar diam dan ngeliatin. Lalu dia nempel-nempel ke aku. Lalu menyorongkan tangan kirinya untuk minta maaf, lalu mencium pipiku dan tak lupa : "mimik... mimik..." Hahaha, biar kondisi sedang gawat begini nggak pernah lupa ya sama mimiknya.

Setelah dia bobok (dan tetap gelisah) aku mikir-mikir. Aku ingat kejadian paginya. Aku berangkat kerja naik angkot. Ada pengamen anak-anak. Waktu dia menawarkan amplop tiga penumpang angkot termasuk aku menolak dengan melambaikan tangan. Tapi setelah itu dia tidak turun dari angkot. Dia tetap menyanyi. Dengan soundtrack ngenes nyanyian pengamen cilik itu, aku mikir. "Kalau aku nggak ada, bapak nggak ada, gimana nasib Mas Damar ya? Jangan sampai terlantar seperti ini." Karena pikiran itu, waktu si pengamen mau turun aku kasih sekedar recehan. Dua penumpang lain melirik. Aku berpikir, mereka merasa dikhianati oleh ulahku hihi.

Nyambung ke malam itu. Aku mempertanyakan, "kalau ibu nggak ada, Mas Damar sama siapa?" Astaghfirullah, jadi begini cara Allah mengingatkanku. Mas Damar milik Dia, bukan milikku. Kalau aku nggak ada, Mas Damar akan dijaga-Nya. Aku kok takabur begini. Astaghfirullah.

Aku juga mikir. Mungkin begini hukumanku karena kadang membuat ibuku menangis. Aku disuruh merasakan juga bagaimana rasanya menangis karena jengkel sama anak. Ya Allah ampuni aku. Ibu, maafkan aku.

No comments: