Sunday, January 3, 2010

Anak Kami Meninggal Sebelum Dilahirkan

19 Des 2009 : Flek dua kali. Warna merah cerah.
20 Des 2009: Periksa ke dr. Sofie (suster-suster Hermina menyebutnya Prof. Sofie). Dengan USG perut kondisi rahim susah terlihat karena sang ibu paginya kurang minum. Akhirnya, aku merasakan juga yang namanya USG transvaginal. Rasanya biasa-biasa saja :D. Bayi yang menurut hitunganku 8 minggu (LMP: 24 Okt 2009), menurut alat USG umurnya 7 minggu 5 hari. Terdeteksi denyut jantung. Menurutku, gerakannya lemah dibanding waktu Damar dulu: kelihatan banget. Tapi menurut Prof. Sofie kondisi rahim dan janin baik-baik saja. Tetapi dengan laporan soal flek, Prof. Sofie wanti-wanti supaya aku segera ke Hermina kalau keluar flek lagi.
29 Des 2009: Flek kecoklatan 5 kali, keluar sewaktu BAB dan BAK.
30 Des 2009: Pagi-pagi darah keluar bukan ketika BAB/BAK. Tapi mengalir seperti ketika menstruasi. Aku langsung ke Hermina dan dibawa ke ruang bersalin. Tidur di tempat yang sama persis dengan sewaktu melahirkan Damar. Perasaanku mulai nggak enak. Bidan yang mengisi formulir sempat meragukan kedatanganku ke kamar bersalin. "Jadi, fleknya cuma waktu pipis aja?" dengan raut wajah sedikit kecut. Sewaktu bidan lain bertanya sambil lalu, dia menjawab, "abortus." Duh, semoga ibu bidan yang satu ini lebih bijaksana.
Tiduran sekitar satu jam menunggu Prof. Sofie. Ternyata beliau sedang mengajar di Jatinangor. Konsultasi hanya dilakukan lewat telepon. Prof. Sofie berpesan agar aku di-USG oleh dokter yang sedang praktek. Jika janin baik, aku diminta bedrest di RS karena menurutnya tidak mungkin bedrest di rumah dengan kehadiran anak yang belum genap 2 tahun. Oh, benar banget, selama hamil kedua ini aku tidak pernah bisa beristirahat dengan tenang dan damai. Bagaimana jika kondisi janin tidak baik (penghalusan dari sudah meninggal)? Aku harus dikuret.
Aku di-USG oleh dr. Yena. USG perut kurang jelas (dan aku sudah minum 3 gelas air putih sebelumnya, wew!). Dr. Yena meminta aku USG transvaginal lagi. Baiklah. Waktu itu aku tidak berpikir panjang bahwa USG transvaginal bisa membuat perdarahan makin parah. Hasil USG? Kabar baiknya janin kulihat sudah lebih besar, bentuknya juga sudah berkembang. Dilihat dari umurnya adalah 8 minggu 3 hari. Hmm, hitunganku sudah 9 minggu 3 hari. Kabar buruknya, menurut dr. Yena: TIDAK ADA DETAK JANTUNG.
Kembali konsultasi dengan Prof. Sofie lewat telepon. Aku diminta pulang lalu datang BERSAMA DENGAN SUAMI untuk kuret. Puasa dulu 6 jam. Tetapi aku meminta Prof. Sofie sebelumnya melihat dulu sendiri kondisi kehamilanku. Beliau setuju dan meminta aku datang ke Zr. Tedja jam 3 sore. Aku bilang suamiku mungkin belum datang karena masih di Jakarta, kalau hari Rabu? "Okay, jam 2 siang ya?"
Aku menunggu administrasi di kasir sambil menangis. Sampai di kantor, ibuku menelpun. Ibuku selalu menelpun di saat yang tepat. Intuisinya memang sangat tajam jika itu menyangkut anak-anaknya. Tambah nangis-nangis lagi aku nya :D. Dulu waktu aku sedang bingung sendiri karena mules-mules mau melahirkan Damar sebelum waktunya, ibuku juga menelpun.
Jam 12, m Raul datang. Dia sepakat dengan tindakanku untuk mencari second opinion dari dr. Sofie. Mungkin jika alat lebih canggih lebih kelihatan? Mungkin detak jantungnya lemah? Mungkin posisi janin sedang kurang bagus?
Kabar buruknya, sepulangku dari Hermina, darahku mengalir seperti menstruasi. Bukan cuma semburat warna kecoklatan.
30 Des 2009: Pagi-pagi menelpun Zr. Tedja. Tidak ada yang mengangkat. Siang jam 1 menelpun lagi dan ternyata hari itu antrian sudah penuh. Aku langsung meminta m Raul untuk mencari informasi dokter kandungan di Borromeus. Dan sorenya, kami langsung datang ke dr. Eddy Haswidi di Borromeus. Dengan alat USG di ruangannya, dr. Eddy kurang yakin. "Gimana ini? Ada detak nggak? Ukurannya memang kecil. Sepertinya tidak berkembang. Gimana? Sayang ya, padahal ada janin. Bu, USG lagi yang lebih besar ya. Sebelum memutuskan lebih baik kita yakin. Kalau bisa malam ini juga USG, saya tunggu. Tapi kalau sudah tutup, besuk pagi-pagi ya." Kami setuju dengan dr. Eddy. Sebenarnya aku agak kecewa dengan Prof. Sofie, kenapa beliau segera memintaku untuk kuret padahal beliau belum melihat langsung kondisi janin. Mungkin karena Prof. Sofie sangat percaya pada kompetensi rekannya.
Oh ya kali ini, aku minum banyak dan menahan pipis hehehe. Sampai waktu mau USG, si dokter bilang, "Perutnya dilemesin Bu..." Haha, ini kaku karena nahan pipis jeh.
Malamnya, aku mengalami mules-mules terus-terusan tanpa henti selama sekitar 5 jam (haha, 1 jam = 1 menit. Yang namanya kontraksi kan sebentar saja kerasa lama ya?). Sakitnya seperti waktu mau melahirkan. Boong, rasanya cuma sepersekian mules melahirkan. Lalu rasanya keluar sesuatu yang bukan aliran darah. Aku menduga gumpalan darah. Setelah sakit reda aku ke kamar mandi untuk melihat. Dan ternyata yang keluar di kamar tadi adalah jaringan. Patah hati iya tapi juga lega rasanya. Aku tidak harus bertanya-tanya lagi.
31 Des 2009: Kami konsultasi lagi dengan dr. Eddy Haswidi. Dan dokter langsung meminta aku untuk menjalani prosedur D&C siang itu juga. Semua suster mempertanyakan keputusan ini. Soalnya aku sudah sarapan jam 8 pagi :D. Dr. Eddy bilang tidak apa-apa. Ya sudah. Mari kita kuret. Jam 11 aku masuk ruang kuret. Dengan segala persiapan dan lalu beres-beres setelah kuret, jam dua belas kurang seperempat aku sudah di ruang pemulihan. Kupikir tadinya, kuret bakalan menyiksa. Ternyata ibu-ibu, kuret adalah hiburan bagi ibu yang mengalami keguguran. He, setidaknya itu berlaku bagiku. Tentu saja bukan dikerok-keroknya yang menghibur tetapi biusnya :D. Setelah aku merasakan cairan bius mengalir di pembuluh darah di tangan kananku aku tidur pulas seketika. Ketika dibangunkan oleh suster, aku masih ngantuk banget dan merasa tenang, nyaman dan damai sejahtera :D. Pantas saja banyak orang kecanduan obat bius dan obat penenang. Tapi walaupun ngantuk banget, aku sempat-sempatin berterimakasih pada dokter. Lalu bertanya kepada suster, apa aku ngelindur. "Enggak kok Bu, nggak ada rahasia yang terbongkar hehe." Lalu bertanya, apa tadi ada sisanya. "Ada Bu, tapi cuma sedikit." Lalu suster berpesan, "Ibu tidur saja sekarang ya. Saya panggilkan suami."
Jam 1 kami pulang dari Borromeus. Ketika m Raul membeli pendil, suster melihatku di luar sedang menjaga motor sambil duduk di jok bagian depan. Suster berteriak, "heee! Baru dikuret sudah naik motor saja!" Oow, aku ketahuan. Aku membela diri, "cuma bonceng kok."

Kok aku sepertinya ringan-ringan saja menceritakan semua ini ya? Tidak juga. Sebenarnya, subuh-subuh setelah keguguran aku berpikir lama dan menangis lama, sendirian. Kenapa ini terjadi dan kenapa kejadiannya seperti ini. Mungkin benar kata dr. Yena, ini seleksi alam. Mungkin benar pada dasarnya bibit anak kedua kami kurang bagus. Aku yakin, keguguranku bukan karena semingguan sebelum aku kena flek yang pertama aku kena pilek parah sampai berat badanku turun 4 kilo. Dan sewaktu aku pilek itu aku juga harus menjaga Damar yang rewel karena ketularan pilek dan demamku. Dan aku yakin, keguguranku ini bukan karena sehari sebelum flek yang kedua aku naik angkot dan memangku Damar yang ketiduran. Sepulang dari piknik kecil itu, aku kecapekan luar biasa. Pusing dan pegal. Tapi aku yakin, bukan karena itu aku keguguran. Aku yakin janin kami meninggal sebelum itu. Karena beberapa hari sebelumnya aku sudah merasakan tanda-tanda hamil muda hilang dariku. Sebelumnya aku mencium bau brambang goreng rasanya mau muntah tapi menjelang kena flek itu aku sudah doyan makan brambang goreng. Yang masih belum kupahami sampai sekarang, mengapa aku diberi kesempatan melihat janinku hidup sebelum seminggu kemudian melihatnya tak berdetak lagi? Itu yang membuatku patah hati. Itu yang membuat aku memuas-muaskan diri untuk menyalahkan diri sendiri: aku kurang menyayanginya, aku kurang memperhatikannya, aku kurang mencintainya. Ya Allah, ampuni aku. Anakku, maafkan ibumu. Tidak usah menasehatiku, ini memang tidak rasional. Tapi aku merasa begitu. Begini cara Allah menyuruhku belajar. Untuk lebih bersyukur. Untuk lebih mencintai. Lebih mencintai Mas Damar. Lebih mencintai adik Mas Damar. Lebih mencintai dan membutuhkan suami. Lebih mencintai dan membutuhkan Yang Menciptakan aku.
Namun walaupun kami harus mengalami ini, Allah membuatnya mudah bagi kami. Keguguran yang alami membuat kami yakin anak kami yang kedua ini memang sudah ingin dilahirkan, jauh sebelum waktunya. Kami tidak harus merasa bersalah, tidak harus memaksa anak ini keluar dengan jalan dikuret. Kami juga diberi kesempatan untuk melihat dulu janin yang tidak lagi berdetak jantungnya sebelum akhirnya aku keguguran. Aku yakini ini adalah cara Allah menyelamatkan kami dari prasangka-prasangka: aku keguguran karena aku kecapekan atau bahkan karena aku menyusui Mas Damar. TIDAK AKAN, walaupun cuma sedikit aku akan menyalahkan Mas Damar atau siapa pun dalam hal ini. Kalau ada yang salah, yang salah hanyalah aku. Aku, ibu yang kurang menyayangi anaknya yang kedua.